Tuesday, December 6, 2011

Dua Sejoli

Dua Sejoli
Oleh : Putri Bayu

Dua sejoli meraih mimpi
Tertatih bersama di bawah mentari
Menggapai cita dengan sepenuh hati
Berharap kelak kan mati di pelukan sang Ibu Pertiwi

Datanglah kepadanya wahai angan
Agar mereka dapat menggapaimu
Menyisakan jejak kaki di jalan setapak
Jalan mereka berjuang

Setapak penuh doa
Setapak penuh usaha
Mereka tak kenal lelah
Mereka tak patah semangat

Dua sejoli bergandeng tangan
Menjaga satu sama lain di tepi jurang
Menyisir hutan demi secercah impian
Semoga Tuhan memberkati kalian
Surabaya, 3 Desember 2011

Sunday, December 4, 2011

Janjimu Di Balik Rembulan

Janjimu Di Balik Rembulan
Oleh : Putri Bayu



Janjimu di balik rembulan
Menyayat setiap senti kulit tipisku
Dengan kesaksian para bintang dan angin malam
kau tangguhkan segala ucapan

Aku meringis
Tiada ingin kuingat dirimu lagi
Meski hampa menghampiri
Tak akan ada waktu untuk kembali

Janjimu di balik rembulan
Seakan hanya ada aku dan dirimu
Merajut cinta tiada batas
Tenggelam di samudera yang luas

Aku tertawa
Sungguh lucu alam ini
Mempertemukan kita yang sangat berbeda
Memisahkan kita dengan mudahnya

Janjimu di balik rembulan
Terbalut sutra kasih sayang
Ataukah hanya penggelitik humor alam
Aku tidak mengerti

Cukuplah sudah
Tiada lagi dapat dipercaya
Sudah kutunggu  kehadiranmu sekian lama
Untuk merajut, menyulam, dan menjahit asmara
Namun yang kutemukan hanyalah dusta




Surabaya, 30 November 2011


-iamreachthestar-

Monday, November 28, 2011

Impian Sang Pemimpi

IMPIAN SANG PEMIMPI
oleh : Putri Bayu


Semua orang memiliki impian, termasuk diriku. Aku adalah gadis kecil pemimpi yang berani. Teman-temanku tidak ada yang sepertiku. Mereka membatasi impian mereka lantaran yakin tidak akan terwujud. Namun bukan itu maksud dari impian. Terwujud atau tidaknya, semua itu tergantung kita. Tidak peduli setinggi dan sejauh apa keinginan itu berada. Jika langkah kaki kita kuat dan pendirian kita teguh, maka semua itu tak akan menjadi masalah.
            Kini aku sedang berusaha meniti karierku. Dimulai dari tidak mengerti, tidak tahu, dan tidak bisa, sekarang aku mulai membangun benteng impianku sedikit demi sedikit. Kukumpulkan benteng pengetahuan dan pengalaman, baik itu milikku sendiri, ataupun milik orang lain. Meskipun belum mencapai target yang kuinginkan, aku tetap bangga pada kemampuanku.
            “Tuhan memang adil,” batinku setiap saat.
            Aku bukan penulis yang handal, aku bahkan belum lancar membedakan kata baku dan tidak baku. Pengalamanku menulis baru beberapa bulan. Namun, niatkulah yang membawaku kesini. Majalah terbesar di Indonesia untuk menulis rangkaian kata sederhana dan di terbitkan setiap bulan. Puji syukur aku dapat bertahan dengan segala kekuranganku.
            Namaku Uti, gadis buta yang lahir di kota Malang. Kota yang indah dengan hawa sejuk dan pemandangan yang memesona. Kebutaanku bukan berasal dari masalah pada saat dikandungan, tetapi dari sebuah kecelakaan kecil yang berefek selamanya.
            Teman kecilku, Moti, dia adalah sahabat terbaikku. Dia suka bercanda dan bernyanyi. Senja itu kami bernyanyi bersama di bukit dekat rumahku. Kami menyanyikan banyak lagu. Ketika matahari mulai terbenam dan langit kembali gelap, aku mengajak Moti kembali. Moti tidak mau, katanya dia ingin lebih lama di tempat itu.
            “Aku merindukan, Bapak,” lirihnya. Moti anak tunggal dan Bapaknya sudah satu tahun meninggal. Kala itu hujan deras mengguyur kota Malang, Bapak Moti yang bekerja sebagai kuli bangunan berusaha berteduh. Naas, ia terpeleset dan jatuh tepat di tengah jalan raya. Tiba-tiba muncul truk dan langsung melindas tubuh pria tua itu. Karena musibah tersebut, tubuh Moti sekarang jauh lebih kurus dari biasanya. Sebagai sahabat aku tidak dapat membiarkan dia terlalu larut dalam kesedihan sendiri.
            Maka, kutemani dia hingga puas memandang hamparan ladang dan rumah di kaki bukit. Aku tidak bernyanyi karena sudah malam. Ibu melarangku memainkan alat musik dan bernyanyi saat malam. Katanya itu mengundang setan. Sejujurnya saat itu aku merasa resah. Itu kali pertamaku meninggalkan rumah saat malam menyelimuti langit.
            Ibu pasti marah, batinku. Kutatap Moti yang sedari tadi tidak berkutik melihat langit malam. Dari matanya tersirat kerinduan yang amat dalam. “Moti?” panggilku dengan suara serak.
            Moti menoleh ke arahku dan tersenyum. “Mari pulang!”
            Jalan setapak adalah satu-satunya yang dapat kita lewati.  Tidak ada jalan lain kecuali engkau berharap terperosok ke dalam jurang. Aku sedikit takut, tanah yang licin membuatku beberapa kali terpeleset. Moti terlihat tegap di bawah sinar rembulan. Dia seakan bukan Moti yang kukenal, -Moti yang kekanak-kanakan dan lebih penakut dariku.
            “Apakah kau mau singgah ke rumahku terlebih dahulu? Langit sedang mendung, aku khawatir kau akan kehujanan di tengah jalan,” tawarku padanya. Rumah Moti memang lebih jauh. Sekitar lima belas menit berjalan kaki.
            Moti mengangguk. “Ide yang bagus,” katanya. Nada bicara Moti tidak seperti biasanya, seakan tersirat sebuah kebencian. Meski begitu aku tidak cukup berani untuk bertanya.
            “Akan kubuatkan teh,” ucapku dengan nada menggantung. Orang tuaku sedang keluar rumah, jadi untuk sementara aku terbebas dari amarah mereka.
            Moti berdiri di dekat jendela, matanya menerawang jauh ke langit malam yang perlahan menjatuhkan butir airnya. Aku duduk di kursi yang berada dekat dengan Moti.
            Krekk....
            “Aw!” Kutemukan diriku terjatuh dengan tulang ekor membentur lantai. Rasanya sakit sekali. Hampir mirip ketika tulang keringku membentur pinggiran meja.  
           Aku sempat melihat mata Moti dan bibirnya. Ia tersenyum melihat diriku terjatuh. Hanya itu. Hanya itu yang dapat kulihat sebelum semuanya menjadi gelap hingga saat ini.
            “Uti?” panggil Moti. Tersirat kepanikan pada nada bicaranya.
            “Aku tidak dapat melihat, Moti. Sepertinya aku akan buta.”
            Segera aku diburu pertanyaan Moti yang tidak dapat kudengar sepenuhnya. Petir di luar menganggu pendengaranku. Moti mengguncangkan tubuhku sebelum membantuku duduk di kursi.
            “Maafkan aku. Kumohon,” katanya memelas. Aku bisa merasakan butiran air keluar dari matanya yang tak lagi dapat kupandang. “Aku tidak sengaja melakukan itu, Uti. Aku tidak bermaksud melukaimu.” Lalu kudengar isak tangis yang lebih keras.
            Moti menangis sambil menggenggam erat tanganku. Air matanya mebasahi tanganku. Aku tidak dapat melakukan apapun karena aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Kesadaranku akan keadaan tersebut belum sepenuhnya utuh. Seakan ini hanyalah mimpi dan saat matahari mulai terbit, aku dapat melihat lagi. Sayangnya, itu tidak pernah terjadi.
            Orang tuaku datang. Moti berbicara pada mereka dengan tangis yang tak dapat ia tahan. Mereka berteriak. Terdengar suara tamparan. Aku dipeluk oleh Ibu dan disusul makian Ayah pada Moti. Mereka memelukku. Kudengar Moti meraung antara kesakitan dan sedih. Saat itulah aku sadar, hidupku akan berubah 180°.
            Dan disinilah aku, bekerja sebagai penulis cerita dengan gaji yang cukup untuk keseharianku. Terkadang aku menulis cerpen, dongeng, cerbung, bahkan novel. Tidak mudah meraih cita-citaku ini dengan mata buta. Namun impian dapat mengalahkan segalanya. Keterbatasan tidak mampu menghalangi impian seseorang. Meskipun mataku tak mampu melihat, namun aku mampu merasakan. Itulah yang kutulis dalam setiap ceritaku. Apa yang aku lihat tidak sama seperti apa yang orang normal lihat. Tetapi aku tetap bersyukur karena selama 15 tahun Tuhan masih memberi penglihatan padaku, dan itu lebih dari cukup.
            Editorku mengajarkan cara mengetik. Selama tiga bulan aku belajar mengetik di komputer yang sengaja dirancang untuk diriku. Mereka, -para staff disini, sangat baik. Tuhan memang adil bukan?
            Aku bahagia karena buta. Aku bahagia karena tidak dapat melihat hal-hal yang tidak perlu dilihat. Aku bahagia karena Tuhan mengujiku, -pertanda Ia menyayangiku. Kusadari setiap masalah pasti tersedia jalan keluarnya yang selalu baik. Itu semua tergantung usaha dan ikhtiar setiap individu. Dan aku, kini, sudah menemukan jalan keluarku sendiri hingga kelak aku mampu mengepakkan sayap mengitari bumi.



-iamreachthestar-

Sunday, November 27, 2011

My Word My World

Kata-kataku adalah duniaku
Kata-kataku mencerminkan diriku
Kata-kataku adalah bentuk tarian kehidupanku
Kata-kataku sebagai wakil lubuk hatiku

Oleh karena itu, kusiapkan sebuah wadah
Agar dunia mampu menerima diriku, -diriku yang utuh dalam rangkaian kata sederhana
Sebagai pemupuk kekuatan anak tanggaku
Yang akan kugunakan untuk meraih bintang

-iamreachthestar-